|
Artikel : Religius
Edisi : Istimewa
Khusus : Sebuah Catatan Perjalanan Ke Tanah Suci
Menunaikan Ibadah Haji Pada Tahun 1995
Bismillaahirrahmaanirraahiim
Saudaraku sesama muslim.
Puja dan puji hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam. Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT berkat Rahmat, Hidayah, Inayah dan berkat kasih sayang-Nya sajalah hari ini Sabtu, 5 Rabi’ul Akhir 1428 H bertepatan dengan tanggal 14 Mei 2007 penulis sedang mood mendapat inspirasi menulis artikel berjudul tersebut di atas adalah sebuah catatan perjalanan saya berserta istri Pergi ke Tanah Suci, Madinah Al-Munawarrah dan Mekkah Al-Mukarromah untuk menunaikan Ibadah Haji pada tahun 1995. Shalawat dan Salam tidak lupa saya mohonkan semoga tercurah kepada junjungan kita, junjungan umat, Nabi termulia, Rosul paling Agung, yaitu Baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta Keluarganya, beserta para Sahabatnya.
Melaksanakan Ibadah Haji merupakan Rukun Islam yang kelima. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an (Yang artinya) :”Dan serulah manusia untuk melaksanakan Ibadah Haji niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan dengan berkendaraan mereka datang dari tempat atau Negeri yang jauh.” (QS. Al Hajj : 27)
“Mengerjakan Haji adalah kewajiban bagi manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Al Imron : 97)
“Dari Ibnu Abbas, telah berkata Nabi SAW : Hendaklah kamu bersegera mengerjakan Haji, maka sesungguhnya seseorang tidak akan menyadari, sesuatu halangan yang akan merintanginya.” (HR. Ahmad)
“Dari Ibnu Abbas ra berkata : Rosulullah telah berkata dalam pidato beliau : Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atasmu mengerjakan Ibadah Haji. Seorang Sahabat bernama Aqra bin Habisin berkata : Apakah setiap tahun ya Rosulullah ? Rosulullah bersabda : Kalau saya jawab ya sudah tentu menjadi wajib tiap-tiap tahun. Ibadah Haji itu satu kali saja. Bila dikerjakan lebih dari sekali maka selebihnya merupakan Ibadah Tathawwu (sunnat).” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Nasa’i)
Saudaraku sesama muslim, pada bulan April 1995 saya bersama istri saya mendapat panggilan dari Nabiyyallah Ibrahim AS yang pada hakikatnya mendapat panggilan dari Allah SWT untuk pergi menunaikan Ibadah Haji. Alhamdulillah ! Saudaraku, sehubungan dengan perjalanan menunaikan Ibadah Haji, saya ingin berbagi pengalaman, untuk itu saya menulis artikel ini, sekaligus Syiar Dakwah Agama yang saya anut secara fanatik. Yaitu Islam sebagai agama dakwah.
Suka duka menunaikan Ibadah Haji bagi kami adalah terasa lebih banyak suka ketimbang dukanya. Dimulai dari Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, meski penerbangan terlambat dari jadwal keberangkatan semula, namun kami merasakan bahwa pelayanan di Asrama Haji Pondok Gede cukup baik. Keberangkatan dari Lapangan Terbang Halim PK menuju ke Air Port King Abdul Aziz Saudi Arabia, dengan pesawat Boeing 747 memakan waktu kurang lebih 11 (sebelas) jam memang terasa sangat melelahkan dengan 2 (dua) jam singgah di Singapore untuk mengisi bahan bakar. Namun demikian kami suka dan selalu bergembira. Pramugari yang ramah, menu makanan yang lezat serta hiburan berupa pemutaran film (film-film Penerangan tentang masalah Haji dan film-film cerita yang bernafaskan Islam) adalah sangat membantu menghilangkan kejenuhan.
Mendekati pukul dua pagi waktu Saudi Arabia, pesawat boeing 747 yang kami tumpangi mendarat dengan selamat di Bandara King Abdul Aziz. Satu jam kemudian kami diantar naik Bus ke kota Madinah karena rombongan kami mendapat Haji Tamattu yaitu mendahulukan Umroh sebelum mengerjakan Haji, dengan syarat membayar Dam yaitu dengan menyembelih seekor kambing. Oleh karena itu rombongan kami dari Air Port King Abdul Aziz tidak berangkat langsung ke kota Mekkah Al-Mukarromah melainkan menuju ke kota Madinah Al-Munawarrah.
Selama sembilan hari berada di kota Madinah, kami melaksanakan ibadah berusaha sekhusu’ mungkin. Melakukan Shalat Arbain di Masjid Nabawi yaitu Shalat 40 (empat puluh) waktu berjamaah di Masjid yang mulia ini. Masjid Nabawi adalah Masjid Rosulullah SAW dan bagi insan beriman meyakini keistimewaan Masjid Nabawi yaitu barang siapa melakukan Shalat Fardhu berjamaah 1 (satu) kali di Masjid ini akan mendapat keutamaan (pahala) 1000 (seribu) kali dibanding bila Shalat di Masjid lain.
“Shalat di Masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih utama 1000 (seribu) kali dibanding Shalat di Masjid lainnya, kecuali di Masjidil Haram dan Shalat di Masjidil Haram lebih utama 100.000 (seratus ribu) kali dari Masjid lainnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Masjid Nabawi terlihat begitu indah dan megah. Bangunannya yang luas kokoh artistic serta sangat mempesona. Di dalam Masjid ada satu tempat yang mustajab untuk berdo’a yaitu Raudhah yang terletak diantara makam Rosulullah dan Mimbar Masjid. Berduyun-duyun dan saling berdesakan insan beriman yang datang dari segala penjuru dunia, berusaha untuk dapat melakukan Shalat Sunnat 2 (dua) raka’at dan berdo’a di Raudhah itu. Alhamdulillah, saya dapat juga Shalat Sunnat 2 (dua) rakaat serta berdo’a ditempat mulia dan mustajab itu, meski harus menahan sakit dan nyeri di dada karena berdesakan dengan begitu banyak manusia. (Ket : Pada tahun 1995 penulis adalah penderita sakit Jantung Koroner (penyempitan pembuluh darah) dikategorikan sebagai Calon Haji berisiko tinggi. Sekedar informari : Baru pada tahun 2002 penulis menjalankan Operasi Jantung (By Pass) di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita)
Bahagia saya, terlebih bahagia lagi manakala saya berkesempatan menghadap Makam Rosulullah. Bibir bergetar mengucap salam : “Assalamu’alaika ya Rosulullah warahmatullahi wabarokatuh, assalamu’alaika ya Nabiyyallah, assalamu’alaika ya Safwatalla, assalamu’alaika ya Habiballah. Salam sejahtera atasmu wahai Rosulullah, Rahmat dan keberkahan bagimu.”
Tanpa terasa air mata saya menetes dan tanpa dapat dihindari saya jadi menangis terisak, karena merasa bahagia dapat berziarah ke Makam Rosulullah. Insan termulia, Nabi akhir zaman, Rosul Paling Agung, pilihan Allah SWT ini. Berbekal iman yang teguh selama sembilan hari berada di kota Madinah Al-Munawarrah, hari demi hari kami lalui dengan kesabaran dan keikhlasan. Panas kota Madinah sangat tersa menyengat ubun-ubun sampai ke telapak kaki. Bibir menjadi kering, tenggorokan dan hidung terasa sakit dan disertai batuk-batuk kecil. Belum lagi makanan yang terkadang kami tidak berselera sama sekali untuk makan. Hal ini memang benar-benar suatu godaan yang berat. Namun seperti dikatakan di atas, dengan kesabaran dan keikhlasan semua itu dapat kami atasi. Alhamdulillah !
Sabar dan ikhlas disertai iman yang kokoh, membuat semua yang tidak enak menjadi terasa enak. Makan yang tidak berselera menjadi berselera. Debu yang berterbangan di jalan menjadi obat dan panas yang terik menjadi hangat bahkan terasa nyaman. Kesemuanya ini seperti dikatakan tadi karena dihati ada perasaan sabar dan ikhlas. Sementara di dada sudah tertanam iman yang kokoh. Berada di kota Madinah kami merasa puas dan bahagia. Betapa tidak, disamping dapat berziarah ke Makam Rosulullah, kami juga berziarah ke Makam Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, ke Makam Sayyidina Umar Ibnu Khotob, ke Makam para Suhada, ziarah ke Masjid Quba, Jabal Uhud, Badar dan ziarah ke Masjid Qiblatain yang dahulunya dikenal sebagai Masjid Bani Salamah.
Satu hal yang patut dicatat dan wajib saya syukuri adalah sembilan hari berada di kota Madinah Al-Munawarrah (saat itu) jantung saya sehat-sehat saja, tidak pernah terasa sakit. Alhamdulillah ! Hari kesepuluh kami meninggalkan kota Madinah. Pagi-pagi sekali rombongan kami diberangkatkan ke kota Makkah Al-Mukarromah dengan kendaraan Bus, setelah terlebih dahulu melakukan Shalat Sunnat Ihram dua raka’at di Masjid Bir Ali dan melafadzkan niat Umroh :
“Labbaikallaahumma ‘umrataan.”
“Aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk berumroh.”
“Nawaytul’umrata wa ahramtu bihaalillaahi ta’aala.”
“Aku niat Umroh dengan berihram karena Allah Ta’ala.”
Perjalanan Madinah – Mekkah terasa melelahkan. Pemandangan di kanan kiri jalan terlihat bukit-bukit batu berjejer memanjang seluas mata memandang. Gunung-gunung batu terlihat jauh tinggi menjulang. Pemandangan indah, yang hanya ada di Negara Arab Saudi ini, sungguh sangat sayang bila dilewatkan untuk dipandang. Selama perjalanan (Madinah – Mekkah lebih kurang 498 KM) dengan dikomando oleh pimpinan rombongan, suara Talbiyah, Shalawat dan Do’a berkumandang terus-menerus.
“Labbaik Allahumma labbaik, Labbaika la syarika laka labbaik. Innal hamda wanni’mata laka wal mulka la syarikalak.”
Artinya : “Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, aku datang memenuhi Panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.”
“Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad.”
“Ya Allah limpahkan Rahmat kepada Nabi Muhammad dan Keluarganya.”
“Allaahumma innaa nasaluka ridhooka wal jannah. Wa na’uudzubika min sakhotika wannaar. Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wa filaakhirati hasanah wa qinaa ‘adza bannaar.”
“Ya Allah, sesungguhnya kami memohon keridhoan-Mu dan Surga, kami berlindung pada-Mu dan dari kemurkaan-mu dan siksa Neraka. Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan hindarkanlah kami dari siksa Neraka.”
Bacaan Talbiyah, Shalawat dan Do’a sesudah Shalawat yang terus menerus dikumandangkan itu sungguh membangkitkan iman dan menyejukkan hati. Perjalanan jauh yang melelahkan ini menjadi terasa nyaman, karena hati yang berbunga dan kedua matapun tidak mau dipejamkan. Tiba di kota Makkah Al-Mukarromah kami langsung ke tempat pemondokan (Hotel tetapi bukan Hotel berbintang karena kami bukan Jamaah Calon Haji VIP). Waktu menunjukkan jam 18.00 waktu setempat. Selesai membereskan koper-koper, kami melakukan Shalat Maghrib dan istirahat sebentar. Kemudian pimpinan rombongan memerintahkan agar kami segera tidur, karena pukul 02.00 dini hari nanti, kami akan dibangunkan untuk melakukan Thawaf Umroh dan Sa’i. Kami merencanakan Thawaf Umroh dan Sa’i dilakukan nanti pada pukul 02.00 dini hari dengan pertimbangan bahwa pada jam itu orang atau jamaah tidak akan begitu banyak, hingga kami dapat melaksanakan Thawaf Umroh dan Sa’I tanpa berdesak-desakan. Lebih kurang jam 02.00 pagi kami memasuki Masjidil Haram, langsung menuju Ka’bah. Pertama melihat Ka’bah spontan tergetar hati saya, karena sejak kecil saya sudah percaya, sudah sangat yakin kalau Ka’bah itu ada. Saya mengenal (mengetahui) Ka’bah dari melihat gambarnya di dalam kitab-kitab dan buku-buku bacaan agama. Kini saya berdiri tegak dihadapan Ka’bah yang sebenarnya. Terlihat Ka’bah begitu agung, begitu mulia, kembali hati tergetar, saya begitu terpukau, saya terpesona….
Ternyata perkiraan kami meleset kendati jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari, namun manusia (jamaah) yang melaksanakan Thawaf Umroh begitu banyak. Bukan ribuan orang akan tetapi ratusan ribu orang. Setiap orang berusaha untuk dapt mencium Hajar Aswad. Masya Allah, begitu banyaknya manusia saling berebutan, saling berdesakan, melihat ini terus terang (Saya sadar betul saya sakit jantung) saya takut, saya tidak sanggup, dan saya sudah menyerah sebelum saya berusaha. Saya memilih mengangkat tangan ke arah Hajar Aswad (isyarat) saja dan mengecupnya (mencium tangan sendiri saja). Dipimpin oleh ketua rombongan kami melaksanakan Thawaf Umroh, diawali dengan niat dan dimulai dari Hajar Aswad (Ditandai dengan garis lurus berwarna coklat yang searah dengan Hajar Aswad) dan berakhir ditempat yang sama, sebanyak 7 (tujuh) kali putaran mengitari Ka’bah.
Selesai melakukan Thawaf, kami berdo’a di Multazam. Multazam adalah salah satu diantara tempat-tempat yang Mustajab untuk berdoa. Letak Multazam yaitu antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah. Kemudian kami menuju Makam Ibrahim untuk melakukan Shalat Sunnat Thawaf dua rakaat. Selanjutnya kami menuju Hijir Ismail dan kami Shalat Sunnat Mutlak dua rakaat pula. Setelah itu kami minum air Zam-zam yang disediakan di lingkungan Masjidil Haram. Nabi SAW mengajarkan kita membaca do’a ketika minum air Zam-zam :
“Ya Allah, aku mohom pada-Mu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, rizki yang luas, dan kesembuhan dari segala sakit dan penyakit, dengan Rahmat-Mu ya Allah Tuhan yang Maha Pengasih dari segenap yang Pengasih.”
Selesai ibadah Sa’i kami bertahalul Umroh, yaitu dengan cara ketua rombongan menggunting rambut kami sekurang-kurangnya tiga helai. Sebagai tanda kami sudah boleh melepas pakaian Ihram dan dapat mengenakan pakaian biasa kembali. Tetapi bagi Haji Ifrad dan Haji Qiran tidak boleh bertahalul dan harus tetap memakai kain Ihramnya dan tidak boleh dulu menggunting rambut. Tetapi karena rombongan kami Haji Tamattu, kami boleh bertahalul setelah selesai ibadah Sa’i. Terus terang, saya merasa lelah sekali, tenaga rasanya terkuras habis, tetapi saya puas dan bahagia sekali karena saya dapat menyelesaikan ibadah Thawaf dan Sa’i tanpa bantuan Kereta Dorong atau menggunakan jasa tandu. Akan tetapi saya lakukan dengan kekuatan dan tenaga saya sendiri. Namun demikian saya akui dari 35 orang anggota rombongan (Diantaranya ada beberapa wanita yang usianya diatas 60 tahun ), hanya saya sendiri yang paling lama dan paling terakhir menyelesaikan Thawaf dan Sa’i (Tahun 1995 usia penulis 51 tahun). Sekali lagi saya puas, saya bahagia, terlebih setelah saya mersakan tidak ada keluhan dari penyakit jantung saya. Alhamdulillah ! Kami tinggal menunggu waktu Wukuf, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah. Selama berada di kota Mekkah Al-Mukarramah pekerjaan kami hanya beribadah se-khusu’ mungkin. Shalat fardhu lima waktu, berjamaah di Masjidil Haram, kecuali bagi yang sakit dan uzur. Kami membaca Al-Qur’an, berdzikir di dalam Masjid, Shalat-shalat sunnat di Masjid, begitulah kegiatan kami sehari-hari kami khususkan untuk beribadah saja.
Mekkah Al-Mukarramah adalah kota suci bagi umat Islam, tempat yang paling mulia di atas bumi. Di kota ini terdapat Al-Masjidil Haram, yaitu Masjid kebanggan kaum muslimin di seluruh dunia. Sementara didalamnya terdapat Ka’bah, Baitullah Yang Agung. Shalat di Masjidil Haram mempunyai keutamaan luar biasa, hingga membuat Insan Muslim dari segala penjuru pelosok dunia tergiur dan tidak akan pernah lupa untuk Shalat berjamaah di Masjid mulia itu, pada setiap musim Haji tiba. Sesuai Sabda Rosul : “Shalat di Masjidil Haram lebih utama 100.000 (seratus ribu) kali disbanding Shalat di Masjid lainnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Berada di kota Mekkah saya begitu ikhlas, begitu pasrah dan tidak pernah ada keraguan. Di Jakarta sesuai anjuran dokter untuk kesehatan : Saya tidak berani makan banyak, tidak makan daging kambing, tidak makan makanan gurih dan berlemak dan saya juga menghindari minuman manis. Akan tetapi di kota suci ini, tanpa ragu saya makan relative banyak, saya juga minum Coca cola, bahkan saya makan gulai kambing (tetapi tidak banyak). Keyakinan di hati begitu kuat, bahwa di kota suci ini semua makanan menjadi obat buat saya. Setiap Subuh dalam keadaan perut kosong, saya berani minum air Zam-zam yang dingin diberi es, sampai bergelas-gelas yang saya ambil sendiri di tempat-tempat yang telah disediakan yang berada di dalam Masjid. Alhamdulillah, hamper sebulan kami berada di kota Mekkah Al-Mukarromah jantung saya sehat-sehat saja dan tidak pernah terasa sakit. Selain Shalat berjamaah di Masjidil Haram, kami juga pergi ziarah ke tempat-tempat bersejarah, seperti : Jabal Nur, Goa Hira, Jabal Tsur, Jabal Rahmah, Masjid Jin, Pemakaman Ma’la. Dan ziarah ke tempat Maulid Nabi yaitu tempat kelahiran Rosulullah SAW. Kami juga melaksanakan Thawaf Sunnah dan Sa’i.
Wukuf di Padang Arafah adalah Rukun Haji terbesar merupakan puncak dari pelaksanaan Ibadah Haji. Sabda Rosulullah SAW : “Alhajju Arrafah.” Artinya, Ibadah Haji itu adalah Wukuf di Arafah. Barang siapa yang tidak melakukan Wukuf, sudah dapat dipastikan bahwa Ibadah Hajinya tidak syah dan harus mengulanginya pada tahun yang akan datang. Tanggal 8 Dzulhijjah yaitu pada hari Tarwiyah seluruh Jamaah Haji diberangkatkan ke Padang Arafah untuk melaksanakan Wukuf. Pada tanggal 9 Dzulhijjah kami memasuki Padang Arafah dan waktu masuk Arafah kami berdo’a :
“Ya Allah, hanya kepada Engkaulah aku menghadap, demi Engkaulah aku berpegang teguh, pada Engkaulah aku menyerah diri. Ya Allah, jadikanlah aku diantara orang yang hari ini Engkau banggakan dihadapan Malaikat-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Wukuf dimulai setelah tergelincir Matahari, selesai Shalat Dzuhur kami memperbanyak Dzikir, Istighfar, dan kami bermunajat kepada Allah SWT. Kami membaca do’a wukuf dengan khusu’ karena kami yakin ini adalah waktu yang mustajab untuk berdo’a. Di sini seluruh umat Islam dari segala penjuru pelosok dunia benar-benar merasakan betapa kebesaran Allah, betapa Agungnya Dia yang Maha Gagah Perkasa, Dialah Sang Maha Pencipta, Dia yang Maha Dzat dan sesungguhnya betapa kecil dan lemahnya manusia, betapa kerdil insan yang dhoif ini. Karena kegagahan manusia ada batasnya, ilmu pengetahuan, pangkat, jabatan di masyarakat dan harta kekayaan tidaklah kekal untuk selamanya. Pemandangan mengharukan kita saksikan saat jutaan manusia tanpa membedakan miskin ataupun kaya, punya jabatan tinggi atau tidak, semua berpakaian sama, yaitu dua helai kain berwarna putih. Wukuf di Padang Arafah merupakan gambaran akhir dari perjalanan hidup manusia. Dengan berpakaian dua helai kain berwarna putih ini, kita akan kembali pulang menghadap kepada Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Setelah terbenam Matahari dan selesai Shalat Maghrib, kami diberangkatkan menuju Mina setelah terlebih dahulu kami Mabit di Muzdalifah. Mabit di Muzdalifah atau Mina adalah berdiam dikedua tempat tersebut pada tengah malam walau hanya sebentar. Di Muzdalifah kami mencari batu-batu kecil untuk digunakan melontar Jumroh di Mina. Masing-masing mengambil batu sebanyak 70 butir karena kami memilih Nafar Tsani. 7 butir untuk Jumroh Aqabah, 63 butir untuk tiga Jumroh, yaitu Ula’, Wustha dan Aqobah. Setelah melontar Jumroh Aqobah kami Tahallul Awal, yaitu menggunting rambut sekurang-kurangnya tiga helai. Begitu selesai melontar Jumroh Aqobah, tiba-tiba seluruh tubuh saya terasa dingin, dingin sekali, sehingga saya jatuh sakit. Barangkali saya terlalu lelah, atau rupanya saya tidak kuat terhadap Blower yaitu angin buatan yang terlalu keras. Ketua rombongan memutuskan untuk kami kembali ke Mekkah. Jadi, meskipun kami memilih Nafar Tsani namun pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah kami tidak bermalam di Mina akan tetapi bermalam di kota Mekkah. Untuk itu kami membayar Fidiyah, yaitu satu orang untuk satu hari kami membayar satu Mud. Alhamdulillah, sakit saya tidak berkelanjutan, dan keesokan harinya tanggal 10 Dzulhijjah saya sudah sehat kembali bahkan saya mampu melaksanakan Thawah Ifadah bersama istri melanjutkan dengan ibadah Sa’i, itu berarti kami sudah bertahalul tsani.
Tanggal 12 Dzulhijjah rombongan menuju Mina dan kami melontar Jumrah Ula, Wustha, Aqobah untuk tanggal 11 Dzulhijjah, kemudian kami mengulangi melontar Jumrah Ula, Wustha, Aqobah untuk tanggal 12 Dzulhijjah. Setelah itu kami kembali ke kota Mekkah. Tanggal 13 Dzulhijjah kembali rombongan kami ke Mina. Lewat tengah malam, menjelang pagi, kami melontar Jumroh Ula, Wustha kemudian Aqobah. Sampai disini selesai sudah seluruh Rukun dan Wajib Haji kami laksanakan dan syah lah kami menyandang predikat Haji. Tinggal menunggu perintah kepulangan kami ke Indonesia dan sebelum kembali ke Tanah Air kami melaksanakan Thawaf Wada’ dulu, yaitu Thawaf Perpisahan. Melelahkan memang menunaikan Ibadah Haji, tetapi kami puas dan bahagia. Masih dengan nafas memburu, sambil terengah dan seiring dengan menetesnya air mata saya, bibir ini berucap perlahan berdo’a : Ya Allah, Ya Rahman Ya Rohim, semoga Haji kami ini Haji yang Mabrur. Amiin, ya Allah. Amiin ya Robbal Alamin….
***
Selesai
(Artikel (tulisan) ini pernah dimuat di Majalah WBC pada tahun 1995. Ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Hadist-hadist Rosulullah SAW diambil dan dikutip dari buku Bimbingan Ibadah di Madinah, di Mekkah, Arafah, Muzdalifah dan Mina serta buku Bimbingan Manasik Haji. Diterbitkan oleh : Departemen Agama Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Dan Urusan Haji Jakarta)
|